Membaca buku tersebut kembali menyadarkan diri ini bahwa begitu bersejarah, berwarna, dan penuh dengan lika-likunya kemahasiswaan kampus ini.
Peristiwa Tritura 1966, Aksi yang berujung pada pendudukan militier di kampus, dan lahirnya NKK/BKK yang mengakibatkan bubarnya DEMA ITB (1978-1982). Aksi Pemotongan puluhan bebek tahun 1986, Pemenjaraan dan Pemberian Sanksi DO oleh rektorat pada sejumlah mahasiswa pada tahun 1989, Aksi penolakan skorsing Yos dan Mei yang berujung pada aksi pembakaran KTM oleh salah seorang mahasiswa pada tahun 1994, dan Peristiwa Reformasi 1998, merupakan rentetan bukti yang tidak dapat dielakkan sebagai peran dan coretan legenda kemahasiswaan kampus Ganesa ini.
Semua bersatu. Berjuang untuk membela rakyat, karena semua sadar bahwa dari jerih payah keringat rakyat lah mereka dapat menikmati pendidikan di tempat yang telah melahirkan proklamator negeri ini.
Semua bersatu. Melawan kediktatoran Penguasa Negeri meski beresiko harus berakhir di balik jeruji besi.
Semua bersatu, tak ada arogansi. Warna-warni identitas jurusan justru semakin membuat perjalanan pada arah kemahasiswaan ini bermakna lebih.
Satu arah. Satu semangat. Semangat kesatuan.
Membela rakyat. Melawan tirani negeri. Rela berdiri dengan acungan senjata api di pelupuk mata.
Itu yang dirasakan ketika diri ini menilik jejak-jejak generasi pendahulu kemahasiswaan.
Di era reformasi ini. Semangat kemahasiswaan itu justru mulai tergerus, atau setidaknya itulah yang dirasakan diri ini selama tiga tahun awal menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa di Kampus Gajah.
Dulu seorang mahasiswa harus menghadapi ancaman skorsing, DO, bahkan dipenjarakan ketika ingin beraktivitas pada kemahasiswaan.
Namun, saat kebebasan untuk berkembang sangat terbuka. Saat bentuk kegiatan kemahasiswaan begitu banyak dan bervariasi. Kemahasiswaan kampus ini justru seolah semakin kehilangan ruh-ruh pengisinya. Bergerak layaknya zombie. Tanpa arah.
Ruh-ruh itu kini bukan ditakuti dengan ancaman skorsing ataupun DO. Bukan juga dengan acungan senjata prajurit negara. Ruh-ruh itu kini dilalaikan dengan beban akademik yang tinggi, canggihnya media informasi masa kini, dan terkonsentrasi dengan semakin menyempitnya masa studi.
Tak butuh kaderisasi organisasi. Tak butuh diskusi. Tak butuh kemahasiswaan yang menyita waktu, menguras tenaga, dan memeras pikiran secara lebih.
HMJ yang dulu sebagai rumah, kantung-kantung massa, dan penopang keberjalanan kesatuan pergerakkan kemahasiswaan, justru saat ini mulai enggan berkiprah dengan berkolaborasi. Sibuk memenuhi kebutuhan internal diri. ‘In Harmonia Progressio’ tak ada lagi.
Mungkin memang ini subjektivitas opini pribadi. Namun itu lah yang dirasakan diri selama menghuni rumah ini. di rumah yang katanya ‘Seorang Pengecut tidak layak tinggal di dalamnya’.
Hidup Mahasiswa!!
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Alamater…
Merdeka!!!
Bandung, Oktober 2014
Ananto Indria Pamungkas
15111073