Posts Tagged ‘Motivasi’

10382175_10203363009013262_1694891513485699756_n
Yang berdiri di tengah kami itu namanya Pak Dikdik Wihardi. Angkatannya boleh dikatakan sangat senior di kalangan dosen geodesi ITB. Tapi beliau lah orang berkenan mengunjungi setiap kelompok saat Kemah Kerja dengan berjalan kaki.
Karena dengan kondisi topografi lokasi kemah kerja saat itu, hanya cara tersebut lah yang memungkinkan untuk beliau agar dapat mengamati setiap peserta yang sedang melakukan pembelajaran lapangan untuk dunia profesi kami.

Beliau juga yang mengingatkan kepada kami, bahwa sesungguhnya keilmuan geodesi sudah ditunjukkan Tuhan dalam wahyu-Nya. Kita yang melata di dunia ini hanya melaksanakan apa yang tertuang dalam kitab suci-Nya.

Beliau juga yang menunjukkan bahwa teknologi lama belum tentu tidak berguna saat teknologi baru pengganti bermunculan. Karena pada dasarnya teknologi hanya alat untuk mempermudah pekerjaan, sedangkan prinsip dan konsep ilmu ada dalam diri manusia itu sendiri.

Terima kasih Pak, atas seluruh pembelajaran yang telah diberikan.
Maafkan para ex mahasiswamu yang seringkali tak tahu adab ini.

capture-10

Sekiranya memang dalam setiap fase dan tahapan penting hidup ini, Dia membuat hamba ini memulainya dengan ‘sendirian’. Teringat saat diri memulai mengenyam pendidikan formal. Dipisahkan tempat menimba ilmunya dari saudara kandung. Tanpa ada sedikit pun mengenal sesiapa yang bakal menjadi kawan.

Berlanjut ke tahap menengah pertama. Dari 9 orang instansi pendidikan dasar yang sama, Ia letakkan diri saya dalam kelas yang penuh tantangan. Berisi potensi-potensi terbaik dalam distrik, namun tetap tanpa kawan main 6 tahun sebelumnya.

Fase hidup itu berlanjut. Saat jenjang menengah atas, saya diberi kesempatan untuk menempa diri pada instansi pendidikan terbaik di dalam kota. Kembali, bahkan lebih tragis, tak satu jua pun kawan dari fase menengah pertama yang membersamai.

Berlanjut pada pendidikan tinggi. saya berkesempatan untuk berkunjung ke tanah legenda, bumi parahyangan. Sebuah kawah candradimuka terbaik negeri ini, kampus ganesha. Datang dengan status veteran, dan secara de facto masih tetap memulainya dengan sendirian.

Siklus itu kemudian ternyata berlanjut. Saat status bukan lagi mahasiswa. Saat pikiran sudah harus mendewasa. Saat raga tertuntut untuk memberi karya. Saat pemikiran ideal sudah dihadapkan langsung dengan dunia nyata.

Dia kembali tempatkan saya dalam wahana yang samasekali asing.
Dengan segilintir orang yang satu almamater, dan hanya sepasang yang punya strata yang sama.

Saya tersadar, bahwa Allah begitu Maha Memberi Pelajaran pada hamba-Nya. Dengan kondisi yang selama ini ada, saya dituntut untuk tidak bergantung dan berpengharap pada makhluk-Nya. Mengharuskan Dia dijadikan sebagai satu-satunya tempat untuk berkeluh, satu-satunya zat untuk berpengharap, dan satu-satunya Pencipta untuk berpegang.

Sejauh yang dialami, fase-fase krusial itu berhasil dilewati dengan cukup meniti, namun berakhir sejuk di hati.

Diri ini hanya berpengharap, dengan fase ini dimulai dari keadaan yang sama, merupakan pertanda baik dari-Nya. Bahwa aktivitas di depan adalah dibawah lindungan-Nya, dinaungi keberkahan-Nya, dan merupakan jalan untuk meraih surga-Nya.

c360_2016-05-30-21-52-03-2331

MIMPI vs EGOISME.

Telah 4 tahun berlalu, hasrat itu muncul. Setelah diri ini mendengarkan hikayat orang yang pertama-tama bergabung dengannya.

Mereka bercerita tentang negeri yang dimana kesenjangan untuk menikmati pendidikan begitu tinggi.

Mereka bercerita tentang bagian bumi yang katanya sudah berdikari, tapi listrik pun belum sampai ke seluruh penjuru negeri.

4 tahun lalu cerita itu memancing hasrat diri yang kemudian memunculkan mimpi. Ingin rasanya ikut terjun dalam pergerakan yang dirintis. Ingin rasanya diri ini turut menjadi abdi.

Tekad dibulatkan. Diri dipersiapkan. Mental dimatangkan.

Namun, ketika mendapat bisikkan tentang bagaimana keadaan lingkungan sekitar diri. Tersadar mungkin sebagian besar hasrat itu adalah karena egoisme pribadi yang ingin sekali diakui keberadaan dirinya oleh banyak insan negeri.

Apalah arti terjun ke mengakar rumput jikalau diri ini sebenarnya masih hanya ilalang yang sedikit lebih meninggi?

Apalah arti hasrat menjadi abdi di penjuru negeri jikalau itu dengan cara abaikan keluarga dan lingkungan sekitar? Padahal mereka lah yang seharusnya pertama-tama abdikan dan kontribusikan oleh diri ini?

Apalah arti mimpi jikalau ia mungkin akan lebih banyak membikin susah mereka yang selalu mendampingi? Padahal baru secuil diri ini memberi?

Mimpi. Ia seharusnya membuat semakin taat kepada-Nya, meninggikan derajat diri dan keluarga di hadapan-Nya, serta memberi manfaat maksimal kepada lingkungan terdekat sebagai yang pertama-tama.

Tertutur kata maaf, karena cara menyalurkan hasrat ini harus diredam, meskipun semangat nya tetap terus digenggam.

Tertutur kata maaf, karena mungkin saat ini bergabung dengannya bukanlah cara terbaik yang harus dilalui diri ini jika ingin berkontribusi bagi penduduk negeri.

Tertutur kata maaf, untuk mereka yang selama ini mendukung dan siap menjadi tameng dalam setiap tahapan proses yang diikuti.

Bumi ini milik-Nya. Ia hamparkan berbagai cara dan pilihan agar setiap insan dapat memberikan manfaat bagi sesamanya. Serta menjadi sosok pribadi terbaik di hadapan-Nya.

Diri ini yakin, bahwa keadaan saat ini adalah juga bagian dari rencana-Nya. Maka ia akan berikan jalan agar kebaikan dari hasrat itu tetap tersalurkan pada saatnya.

Terima kasih karena selama ini telah memberi inspirasi. Terima kasih atas semangat yang dibagi.

Semoga suatu saat nanti Ia tunjukkan cara lain agar diri ini dapat berbagi dan memberikan kontribusi untuk gerakkan ini.

Terima kasih, Indonesia Mengajar.

capture-8

Ada sekelompok manusia yang memadatkan usianya dengan beragam karya. Namun ada pula yang sudah merasa cukup hidup dengan aktivitas yang apa adanya. Tak penting mereka siapa. Yang penting, kita termasuk yang mana?

Ada yang mengisi hari dengan beragam kontribusi. Namun ada pula sekelompok manusia yang hidupnya hanya memperjuangkan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita yang mana?

Ada yang memilih mengabdikan hidup jadi pahlawan, namun ada yang hanya puas jadi petepuk tangan. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?

Ada yang memilih hidup dengan aktif jadi pemain, namun ada pula yang sudah cukup puas di tepi lapangan kehidupan untuk jadi penonton. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?

Ada yang gagah memilih hidup berdiri tegak menentang ombak. Namun ada pula manusia yang lebih suka memilih hidup mengalir laksana air, slow seperti pulau, santai seperti pantai. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?

Ada yang hidup dengan menghemat umur melalui berbagai aktivitas produktif. Namun ada pula yang hidupnya terkungkung dengan bayangan sikap pesimis. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?

Ada yang ketika lahirnya, semua orang di sekitarnya tersenyum manis, dan ketika tiada semua orang sesenggukan tak kuasa menahan tangis. Namun ada pula orang yang ketika ia lahir semua orang yang di sekitarnya tersenyum manis, dan ketika tiada, senyum orang di sekitarnya ternyata semakin manis. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?

Ada orang yang tak rela waktunya tersita oleh beragam aktivitas biasa. Tapi ada pula manusia yang usianya tersita oleh aktivitas penuh dosa. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita termasuk yang mana?

Aku lebih memilih mati secara berarti daripada hidup tanpa arti (Corazon Aquino).

Hidup adalah Belajar

Posted: November 12, 2016 in Goresan Pena
Tags: , ,

capture

Jaga terus semangatmu.
Semangat untuk belajar, karena hidup adalah belajar.
Belajar bersyukur meski tak cukup.
Belajar memahami meski tak sehati.
Belajar ikhlas meski tak rela.
Belajar bersabar meski terbebani.
Belajar setia meski tergoda.
Belajar dan terus belajar dengan keyakinan setegar karang.
Meski sudah menjadi sunnah, hati seperti gelombang air laut.
Pasang surut dan sering terbawa arus.
Maka dari itu tetaplah belajar untuk tetap berada di jalan-Nya yang benar.
Belajar menjadi lebih baik, belajar menjadi yang terbaik.

Bung Hatta

Tuhan terlalu cepat semua 
Kau panggil satu-satunya
yang tersisa
proklamator tercinta
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas
dalam jiwa
rakyat Indonesia

Hujan air mata
dari pelosok negeri
saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
terlintas nama seorang sahabat
yang tak lepas dari namamu

Terbayang baktimu
Terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa
sederhanamu
Bernisan bangga, berkafan do’a
dari kami yang merindukan orang
sepertimu

Ya, lirik lagu di atas merupakan lagu seorang Iwan Fals atas kesedihannya ketika akhirnya Bung Hatta mangkat. Dari lirik lagu Iwan Fals ini kita bisa merasakan bahwa saat itu rakyat Indonesia begitu kehilangan sosok proklamator ini. Sebuah kerinduan besar yang dirasakan atas sosok Bung Hatta yang bisa hadir kembali di tengah masyarakat Indonesia saat ini. Bersama sahabatnya (Soekarno), Hatta menjadi suri tauladan seorang negarawan yang rela melakukan apapun untuk kebaikan negerinya. Kecintaannya terhadap negeri ini dan perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia sungguh tak terbantahkan. Seorang sosok yang sangat sulit ditemukan di zaman sekarang.

(more…)

27 Agustus 2014

cover

Perjalanan kemarin kembali mengajarkan saya banyak hal, bahwa negeri ini dianugerahkan Tuhan untuk bangsanya dengan begitu megah.

Jika engkau mendambakan hidup dalam cerah gemerlapnya lampu di Amerika,

saya lebih menikmati gemerlapnya bintang di atap langit Plawangan sembalun Rinjani.

Jika engkau mendambakan bisa berdiri di atas tingginya menara Eiffel, Paris.

Saya lebih memimpikan untuk bisa berdiri di atas puncak setiap pasak bumi yang Allah ciptakan untuk negeri ini.

Jika engkau begitu mengelu-elukan indahnya arsitektur bangunan-bangunan di Eropa.

Saya lebih membanggakan indahnya arsitektur-Nya pada alam bawah laut Nusantara.

Perjalanan ini adalah sebuah bukti kekuatan mimpi, persahabatan, dan cinta yang terwujud akibat campur tangan-Nya.

Bermimpilah, utarakan mimpimu pada-Nya Dan engkau hanya perlu terus melangkah agar engkau dapat melihat setiap kesempatan yang ditunjukan-Nya dalam mewujudkan impianmu.

 

Ananto Indria Pamungkas

-Puncak Dewi Anjani, 3726 mdpl

 

14 September 2014

Malam tadi bumi pertiwi ini kembali menjadi saksi sejarah insan-insan penapak kaki di atasnya, sebuah retorika sengit antara idealisme dan egoisme sesaat yang membuat diri sebagai bagian dari orang-orang yang haus akan pembelajaran ini tertunduk, menitik air mata, dan saling berbagi antara bahagia, sedih, haru, dan damai…

Amanah itu bukan suatu penghargaan kawan,

Ia akan memuliakanmu saat kau dengan tulus memikul hal tersebut, jika tidak bersiaplah untuk jadi terhina karenanya.

Selamat memikul amanah besar ini!

 

18 September 2014

“Setiap bunga akan mekar ketika saatnya tiba: forsythia, kamelia, dsn bunga-bunga lain. Bebungaan itu tahu kapan mereka akan mekar; tidak seperti kebanyakan dari kita yang selalu ingin mendahului yang lain. Apakah kamu merasa tertinggal dari teman-temanmu? Apakah kamu merasa telah menyia-nyiakan waktu sementara teman-temanmu mulai melangkah menuju kesuksesan?

Jika kamu berfikir demikian, ingatlah bahwa kamu memiliki masa mekarmu sendiri, begitu juga dengan teman-temanmu. Musimmu belum datang. Namun, ia pasti datang ketika kuncupmu terbuka. Mungkin kuncup itu mekar lebih lama dari yang lain, tetapi ketika sampai pada waktunya, kamu akan mekar dengan begitu indah dan menawan seperti bebungaan lain yang telah mekar sebelum dirimu.

Jadi, angkatlah kepalamu dan bersiaplah menyambut musimmu!”

 

-Rando Kim

(more…)

40108-revolusi_dari_secang

Membaca buku tersebut kembali menyadarkan diri ini bahwa begitu bersejarah, berwarna, dan penuh dengan lika-likunya kemahasiswaan kampus ini.

Peristiwa Tritura 1966, Aksi yang berujung pada pendudukan militier di kampus, dan lahirnya NKK/BKK yang mengakibatkan bubarnya DEMA ITB (1978-1982). Aksi Pemotongan puluhan bebek tahun 1986, Pemenjaraan dan Pemberian Sanksi DO oleh rektorat pada sejumlah mahasiswa pada tahun 1989, Aksi penolakan skorsing Yos dan Mei yang berujung pada aksi pembakaran KTM oleh salah seorang mahasiswa pada tahun 1994, dan Peristiwa Reformasi 1998, merupakan rentetan bukti yang tidak dapat dielakkan sebagai peran dan coretan legenda kemahasiswaan kampus Ganesa ini.

Semua bersatu. Berjuang untuk membela rakyat, karena semua sadar bahwa dari jerih payah keringat rakyat lah mereka dapat menikmati pendidikan di tempat yang telah melahirkan proklamator negeri ini.

Semua bersatu. Melawan kediktatoran Penguasa Negeri meski beresiko harus berakhir di balik jeruji besi.

Semua bersatu, tak ada arogansi. Warna-warni identitas jurusan justru semakin membuat perjalanan pada arah kemahasiswaan ini bermakna lebih.

Satu arah. Satu semangat. Semangat kesatuan.

Membela rakyat. Melawan tirani negeri. Rela berdiri dengan acungan senjata api di pelupuk mata.

Itu yang dirasakan ketika diri ini menilik jejak-jejak generasi pendahulu kemahasiswaan.

Di era reformasi ini. Semangat kemahasiswaan itu justru mulai tergerus, atau setidaknya itulah yang dirasakan diri ini selama tiga tahun awal menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa di Kampus Gajah.

Dulu seorang mahasiswa harus menghadapi ancaman skorsing, DO, bahkan dipenjarakan ketika ingin beraktivitas pada kemahasiswaan.

Namun, saat kebebasan untuk berkembang sangat terbuka. Saat bentuk kegiatan kemahasiswaan begitu banyak dan bervariasi. Kemahasiswaan kampus ini justru seolah semakin kehilangan ruh-ruh pengisinya. Bergerak layaknya zombie. Tanpa arah.

Ruh-ruh itu kini bukan ditakuti dengan ancaman skorsing ataupun DO. Bukan juga dengan acungan senjata prajurit negara. Ruh-ruh itu kini dilalaikan dengan beban akademik yang tinggi, canggihnya media informasi masa kini, dan terkonsentrasi dengan semakin menyempitnya masa studi.

Tak butuh kaderisasi organisasi. Tak butuh diskusi. Tak butuh kemahasiswaan yang menyita waktu, menguras tenaga, dan memeras pikiran secara lebih.

HMJ yang dulu sebagai rumah, kantung-kantung massa, dan penopang keberjalanan kesatuan pergerakkan kemahasiswaan, justru saat ini mulai enggan berkiprah dengan berkolaborasi. Sibuk memenuhi kebutuhan internal diri. ‘In Harmonia Progressio’ tak ada lagi.

Mungkin memang ini subjektivitas opini pribadi. Namun itu lah yang dirasakan diri selama menghuni rumah ini. di rumah yang katanya ‘Seorang Pengecut tidak layak tinggal di dalamnya’.

Hidup Mahasiswa!!

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Alamater…

Merdeka!!!

 

Bandung, Oktober 2014

Ananto Indria Pamungkas

15111073

Kata gelisah memliki makna tidak tentram, selalu merasa khawatir, tidak tenang. Kegelisahan bermakna perasaan gelisah, kekhawatiran, dan atau kecemasan. Pemaknaan pribadi dari kata gelisah dari diri ini pribadi berarti sebuah perasaan akan ketidaknyamanan atas sesuatu yang menjadi pemicu seseorang untuk bergerak.

Diri ini kembali teringat akan perkataan ia, Ketua OSKM ITB 2012, Akrimni Al-Habil. Dalam sebuah sesi penyambutan pada pendidikan dan pelatihan calon panitia acara termegah kemahasiswaan ITB itu, ia membuat kami terpukau dengan penekanan sebuah kalimat yang ia utarakan kepada kami adik-adiknya. “Mulai lah segala sesuatu dari kegelisahan”.

Kegelisahan merupakan respon hati. Dan kita pun sadar bahwa hati ini hampir tak pernah keliru. Ia merupakan anugerah yang disematkan Allah dengan sifat Maha Penyayang-Nya atas ciptaan-Nya. Disadari atau tidak bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan dalam hidup ini merupakan respon hati kita, yang menggenang dalam pikiran dan diterjemahkan melalui tindakan, atas sebuah peristiwa.

Betapa dalam nya makna kalimat “Mulai lah segala sesuatu” tersebut sudah pernah diri ini bahas pada goresan pena lain sekitar awal-awal memasuki semester 5 lalu. Tulisan ini bukan untuk mengurai ulang makna apa yang terkandung dalam perkataan beliau, tapi ini hanya tentang sebuah perenungan, tentang gejolak hati atas situasi yang terjadi, dan tentang dedikasi diri ini sebagai mahasiswa.

 

#AkuGelisah

Negeri ini sedang dilanda dilema. Penduduk bumi pertiwi setiap hari disuguhkan dengan problematika permainan para penguasa negerinya. Harapan akan perbaikan asupan makanan yang mereka santap setiap hari masih di luar batas cakrawala pandangnya. Janji-janji untuk rakyat negeri ini harus ditangguhkan demi memenuhi janji lain pada para penyokongnya dalam meraih tampuk kekuasaan negara. Asa dari sosok pemimpin baru itu seakan lenyap. (more…)

Terik mentari siang hari itu begitu pekat terasa membakar kulit. Awan putih belum banyak terlihat mengangkasa sehingga belum bisa membantu melindungi indera perasa nya. Butiran debu pasir yang terbang bersama angin semilir hari itu menambah beban alat pernafasannya untuk sekedar menghirup udara bersih. Terik, letih. Langkah kakinya mulai terasa berat menyusuri lautan pasir dalam melaksanakan perintah Rabbnya untuk berhijrah ke negeri seberang. Bersama pendamping hidup dan seorang buah hati yang begitu dicintai dan didambakan kehadirannya, ia terus melangkahkan kakinya. Namun, perintah itu kemudian turun. Sebuah perintah dari Rabb nya yang terasa begitu berat untuk dijalankan, yang tidak tega rasanya melaksanakan perintah tersebut di sini dimana sejauh matanya memandang hanya pasir bebatuan yang dilihatnya. Tak ada tanda kehidupan lain. Namun perintah itu telah turun, dan sebagai bukti ketaatan ia pada Rabb nya, sebagai bukti bahwa ia lebih mencintai pemberi karunia hidupnya daripada karunia yang ia terima, dengan sangat berat hati ia akan melaksanakannya. Ia kemudian membalik arah tubuhnya dan melangkahkan kakinya dengan bungkam, tanpa mengatakan apapun pada istri dan buah hati tercintanya. Istri nya melayangkan protes dan ketidaksetujuannya atas apa yang dilakukan suaminya.

“Demi Allah Ibrahim, apakah engkau tega untuk meninggalkan kami di tengah padang pasir yang tandus ini?”

Ibrahim tak bergeming, ia tetap terus melangkahkan kakinya, menjauhi istri dan bayi mungilnya, bahkan sampai pertanyaan yang sama didengarnya beberapa kali terucap dari lidah istri tercintanya.

Namun, Siti Hajar sebagai seorang hamba yang taat kepada Rabb nya, sebagai seorang hamba yang begitu berbakti kepada suaminya. Tersadar bahwa ini bukan kehendak lelaki yang dicintainya. Bahwa Hajar tersadar wahyu telah turun kepada suaminya. Lantas untuk memastikannya ia mengubah pertanyaannya kepada Ibrahim.

“Apakah ini perintah Allah?”

Ibrahim lantas berkata.

“Ya, ini perintah Allah.”

“Jika memang ini perintah Allah, lakukanlah. Sungguh Demi Allah, Ia tidak akan menyia-nyiakan kami.” Sambung Hajar.

Ibrahim lantas membalikan tubuhnya, mendekap istrinya, mengecup kening kedua orang yang begitu dicintainya, dan kemudian meneruskan langkah kakinya.

———- (more…)