Archive for September, 2015

20 September 2015

Posted: September 29, 2015 in Cerita Motivasi
Tags: , ,

Tulisan kali ini sebagian besar hanya berisi curhatan saya. Tak ada yang spesial. Hanya ocehan dan ‘penuntasan kewajiban’ yang mengharuskan saya menuliskannya. Gaya bahasa yang saya pakai pun mungkin akan sedikit berbeda, yang biasanya ketika saya mencurhatkan sesuatu cenderung melankolis dan tersirat, tulisan ini mungkin sedikit datar bahkan blak-blakan. Anggap saja ini adalah sisi lain dari seorang Ananto Indria.

Sepekan ini sebenarnya menjadi pekan yang sangat suntuk bagi saya. Entahlah penyebab tepatnya apa. Apakah karena tidak banyaknya kesibukkan yang dilakukan pasca recall dari anggota Kongres KM-ITB, belum berjalannya kesibukkan mengerjakan Tugas Akhir kuliah (yang sebagian besar teman-teman seangkatan saya sudah melewatinya) ataukah yang lainnya. Yang jelas, sepekan kemarin menjadi hal yang cukup membosankan untuk dilewati. Tak banyak inspirasi dan minim sekali gairah aktivitas yang muncul. Beberapa ide tulisan yang muncul untuk kemudian diniatkan agar ditulis, menguap saja tanpa dicatat satupun. Untunglah, saya sudah meminta tolong ke beberapa sahabat agar senantiasa meneror saya untuk terus menulis di blog ini setiap pekannya. Yeah setidaknya, mau tidak mau, saya terpaksa harus menulis untuk menuntaskan kewajiban ini. Anggap saja sahabat saya tersebut adalah penerbit di masa depan, yang senantiasa selalu meneror saya untuk menyetor tulisannya. Hahaha

Terlepas dari itu semua, merasa beruntunglah untuk anda yang memiliki sahabat-sahabat terbaik. Karena ia akan senantiasa hadir pada saat kondisi apapun. Ia juga tidak akan membiarkan anda terjelembab dalam keterpurukan, dan akan terus mengusahakan upaya terbaiknya demi hidup anda. Tanpa lelah.

Kembali ke persoalan suntuk nya saya dalam menjalani aktivitas di pekan ini. Di satu sisi beberapa hal mungkin terlihat membahagiakan. Teman-teman saya sepekan kemarin telah banyak yang menyelesaikan kewajiban kuliahnya, dan sudah ‘de facto’ menyandang gelar Sarjana Teknik. Di sisi lain, sejujurnya ada ‘kecemburuan’ melihat keberhasilan yang dicapai oleh teman-teman saya tersebut. Masuk bareng, ospek bareng, nugas bareng, tapi mereka lulus duluan. Lalu saya kapan? Ini diniatkan nyusul di periode selanjutnya. Haha

Memutuskan untuk menunda kelulusan secara langsung membuat saya memiliki waktu tambahan untuk menyiapkan kehidupan pasca kampus sekaligus merenungi sejauh apa kesiapan saya untuk menghadapi kehidupan tersebut. Beberapa hal saya sadari. Yang pertama, menurut saya mayoritas pendidikan di kampus sebenarnya mendidik kita untuk menjadi seorang pegawai atau karyawan yang mengabdikan dirinya untuk perusahaan atau orang tertentu. Paradigma Orang ingin bersekolah hingga tingkat pendidikan tinggi mayoritas agar ia bisa bersaing dan memperoleh pekerjaan yang layak dan nyaman, bukan untuk memperoleh kebebasan hidup dengan ilmu mencipta pekerjaan yang baru.

“Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau…”

Begitu lah Soe Hok Gie berpendapat tentang bagaimana seharusnya seorang sarjana berpikir.

Banyaknya beban sks, padat dan banyaknya tugas kuliah, dan batasan waktu studi secara nyata juga memaksa kita para mahasiswa untuk berpikir seperti kebanyakan orang pada umumnya. Hanya sedikit mahasiswa sekarang yang orientasi kedepan pasca lulusnya untuk membangun, berwirausaha (entah itu berkaitan dengan keilmuan ataupun tidak), dan menciptakan banyak lapangan kerja bagi orang lain. Ini mungkin termasuk saya.

Hal kedua yang saya sadari setelah memutuskan untuk menunda kelulusan dari kampus ini adalah bahwa ternyata saya ini kurang suka diperintah oleh orang lain. Saya menyukai kebebasan dalm berfikir dan bertindak. Mungkin laiknya tokoh Ender (dalam film Ender’s Game). Itulah mungkin penyebabnya saya amat jarang sekali mengikuti organisasi atau kepanitiaan di kampus yang memaksa saya berada satu atau dua tingkat di bawah ketua langsung (kepala bidang atau divisi). Jika tidak mengambil posisi ketua, saya lebih banyak memilih menjadi staff karena cenderung lebih bebas. Tawaran posisi senator pun saya terima karena bidang tersebut lebih membuat saya bebas berkreasi dan berfikir, dan Ketua maupun DPM IMG saat itu memberikan kewenangan yang cukup besar kepada saya untuk lebih berperan dan bertindak (selain karena memang minat saya sendiri dalam dunia politik dan kebijakan cukup tinggi).

Memiliki sifat seperti ini bukan berarti saya tidak bisa bekerja sama. Jika memang amanah dalam suatu bidang tertentu tersebut datang dan dirasa tidak ada lagi orang yang mampu mengembannya, Insya Allah saya akan menjalaninya dengan baik secara professional dan bertanggung jawab. Karena menurut saya sendiri bentuk kerja sama terbaik dalam sebuah organisasi atau tim terwujud ketika setiap bagian didalamnya bekerja baik.

Memiliki sifat seperti ini bukan berarti saya berorientasi pada hasil, dan mengesampingkan proses yang terjadi didalamnya. Saya sangat memperhatikan proses yang terjadi dalam bekerja, namun orientasi saya adalah tujuan. Sekali lagi, tujuan. Tujuan belum tentu sama dengan hasil. Jika tujuan baik, maka kita pun akan berusaha untuk menciptakan proses dengan baik. Itu salah satu prinsip saya.

Hal ketiga yang saya sadari adalah bahwa saya ini belum melek finansial. Ini juga berkaitan dengan kesadaran yang pertama sebenarnya. Selama ini paradigma saya ketika nanti saya bekerja adalah untuk mendapatkan upah (uang). Setelah beberapa buku yang saya baca terkait ilmu finansial keluarga, orang-orang kaya bekerja bukan untuk itu. Prinsip mereka adalah uang bukan sesuatu yang riil. Sehingga ia berupaya agar uang lah yang bekerja untuk mereka, bukan mereka yang bekerja untuk uang. Hal itu lah yang menjadi dasar untuk seseorang agar ia memiliki kebebasan finansial.

Selama ini beberapa nasihat yang keluar dari keluarga, ataupun lingkungan sekolah kita menyarankan untuk menabung agar kelak kita bisa hidup berkecukupan di hari tua nanti. Padahal jika kita menabung pada sebuah bank konvensional, lalu diapakan uang yang kita tabungkan itu oleh bank yang bersangkutan? Mereka mengolahnya dan memutarnya melalui usaha-usaha tertentu, sehingga akan menghasilkan lebih banyak uang (yang tentunya uang tersebut akan mengalir kepada orang-orang kaya para Bankir). Lantas uang dalam tabungan kita? Tidak akan bertambah secara signifikan, hanya beberapa persen karena adanya bunga.

Begitu lah beberapa hal yang saya renungi dalam fase tingkat ‘akhir’ di kampus ini. Beberapa hal tidak saya ungkapkan. Dan ternyata memang saya masih harus banyak belajar. Mempersiapkan diri agar kehidupan pasca kampus nanti tidak ada penyesalan yang dialami.

 

Sabtu, 12 September 2015

Posted: September 12, 2015 in Cerita Motivasi
Tags:

12 sept

Melangkah perlahan. Butiran debu bercampur pasir itu beterbangan. Tak tentu arah, mengikuti arah angin yang mengibasnya. Terik sinar mentari hari itu membuat anak manusia itu memicingkan mata. Ia terus melangkah. Mencari pengharapan atas apa yang masih bisa diperjuangkan. Lapar. Hanya itu yang ia rasakan.

Memiliki kehidupan yang baik hanyalah sebuah fatamorgana yang ia rasakan setiap malam. Saat ia tergugah dari tidurnya, tak ada yang berubah dari tempat bernaungnya saat ini. Saat sang mentari mulai meninggi setiap hari nya, ia biasanya bersama ratusan anak seumurannya bergegas. Berbaris rapih, mengantri di hadapan para dermawan bumi. Mengharap sesuap makanan yang jauh dari kata nikmat, tapi setidaknya bisa mengganjal perutnya hingga esok hari.

Tapi ia tak lakukan kebiasaannya hari ini. Ia menapakkan kakinya melalui rute lain. Mencoba kembali merasapi apa yang terjadi pada negerinya. Sejak dilahirkannya ia di dunia ini. Perang saudara telah lama berkecamuk. Jangankan pendidikan, hukum dan pemerintah pun sudah tak ada di wilayahnya.

Entah sampai kapan situasi seperti ini akan terus ada. Sejauh mata memandang, Ia tak melihat tanda-tanda perbaikan yang akan terjadi. Manusia-manusia dewasa yang ada di wilayahnya tak berguna. Sebilah pedang yang setia menghiasi setiap pinggang manusia dewasa itu hanya berperan ketika ada sesuatu hal yang mengusik hidupnya.

Ia terus melangkah, tanpa arah. Putus asa. Itu yang ia rasakan akan masa depannya.. Hanya lapar dan dahaga yang ia rasakan setiap detik waktu yang berlalu. Kehidupan di sini berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat, ia yang akan bertahan hidup lebih lama untuk sementara waktu. Bahkan sang pemangsa dari kaum berdarah panas pun ikut berlomba mencari segumpal daging yang tersisa di atas pelataran pasir yang menggeliat.

Ia putus berpengharap. Bahkan pada Tuhan yang ia rasa tak kunjung mengulurkan tangan-Nya. Ia hanya bisa bersimpuh. Menjalani takdir yang ia peroleh. Hidup di daerah yang terasingkan, gersang, dan memedihkan.

 

Pemira KM-ITB
Bandung, 31 Agustus 2015 lalu Kongres KM-ITB baru saja mengesahkan Aturan Pemira yang baru. Wacana nya Pemira akan dilaksanakan mulai November 2015 ini, dengan tujuan hanya untuk memilih Ketua Kabinet KM-ITB periode 2016. Hal ini untuk menunjang rencana penyehatan kembali periodisasi yang ada di tubuh KM-ITB agar pergerakkan di kemahasiswaan ITB ini bisa berjalan lebih selaras, efektif, dan efisien. Langkah ini diawali untuk Kabinet KM-ITB.

Tak terasa memang, rasanya baru beberapa bulan lalu massa KM-ITB ikut disibukkan dengan kisruh Pemira yang terjadi. Baru 1,5 bulan juga Kabinet yang dipimpin Garry (MT’11) bekerja, dan mungkin baru saja massa 2015 selesai melewati fase awal kaderisasi kampus ini. Namung memang faktanya, jika berjalan sesuai rencana, 2015 ini akan menjadi salah satu sejarah karena di tahun ini KM-ITB akan menyelenggarakan pesta demokrasi untuk kedua kalinya.

Mengenai Peraturan Pemira yang baru beberapa hari disahkan tersebut, secara umum konten yang dimuat sama saja dengan peraturan-peraturan Pemira tahun-tahun sebelumnya. Namun ada aturan yang menarik untuk peserta Pemira KM-ITB 2015 part 2 ini. Dalam pasal 14 tentang persyaratan peserta, ayat 1d dan 1e disebutkan bahwa “Mendapatkan izin untuk menjadi Kandidat Pemira KM-ITB dari lembaga terkait selama penyelenggaraan  Pemira  KM-ITB apabila  memiliki  jabatan  stuktural  pada  lembaga tersebut” dan “Bersedia melepaskan semua jabatan struktural di organisasidi semua tingkat dan tempat maksimal 30hari setelah terpilih”. (more…)

IMG_8681

“ Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai Tanah Air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu Kami naik gunung.” – Soe Hok Gie

Saya mau sedikit berkisah tentang perjalanan sekitar 1 bulan yang lalu. Pendakian menuju puncak gunung Api tertinggi di Indonesia. Bukan perihal bagaimana kami mendaki, melangkah melewati pos demi pos hingga sampai puncak. Tapi lebih kepada makna yang sebenarnya bagi saya pribadi lebih berarti ketika melakukan perjalanan di alam terbuka.

Mendaki gunung sepertinya menjadi tren baru anak muda masa kini. Terlebih setelah booming-nya film 5 cm yang terinspirasi dari novel dengan judul yang sama karya Donny Dhirgantoro. Jujur ajah saya sendiri sudah baca novel nya sejak tahun 2010. Dan memang cukup inspiratif. Haha

Belakangan, semenjak booming nya film tersebut banyak keluhan dari pendaki ‘senior’. Katanya gunung-gunung di Indonesia sekarang jadi kotor. Sekarang orang naik gunung banyaknya cuma gaya-gayaan atau hanya sekedar untul selfie di puncak. Banyak juga yang menyalahkan difilmkannya 5 cm tersebut. Saya sendiri tidak menyalahkan orang yang memiliki pendapat seperti itu, namun patut diakui bahwa menjelajahi alam terlebih mendaki gunung adalah sesuatu yang menurut saya harus dicoba setiap insan manusia.

x———————————————————————————————————————————x (more…)